Enak-Enggaknya Jadi Content Writer di Digital Agency
Sumber: Unsplash.com |
Sebelum saya cerita soal pengalaman saya menjadi Content Writer (CW), saya mau kasih tahu dulu soal bedanya Content Writer sama Copywriter. Soalnya masih ada sebagian orang yang nganggep kalau kedua posisi ini memiliki tugas yang sama. Untuk yang belum tahu, perbedaan kedua posisi ini, mereka sebenarnya serupa tapi tak sama.
Content writer itu orang yang menulis atau yang menyediakan konten untuk web atau brand. Biasanya artikel yang dibuat bertujuan untuk memberikan informasi kepada pembaca. Seringnya kalau Content writer itu nulis tentang artikel tips. Intinya artikel yang dibuat harus informatif, edukatif, dan menarik, tapi harus dikaitkan juga sama brand-nya dengan memasarkan brand se-smooth mungkin (soft selling).
Kalau copywriter tugasnya bikin tulisan sepersuasif mungkin untuk membuat pembaca tertarik dan akhirnya membeli produk yang ditawarkan. Pokoknya bikin tulisan pemasaran produk atau iklan (hard selling).
Saya kurang lebih sudah 11 bulan 12 hari (diitungin banget:P) menjalani pekerjaan seorang CW di digital agensi di daerah Jakarta. Awalnya saya bisa nyemplung di dunia digital agensi berkat teman saya yang ngajak untuk masuk kantornya karena waktu itu emang lagi perlu CW tambahan.
Saat itu, saya emang lagi menganggur, karena resign dari tempat kerjaan yang lama. Jadi pas ada tawaran kerjaan yang menurut saya cocok dengan saya, langsung saya meng-iyakan tawaran teman saya itu. Saya enggak tahu ya, apakah rata-rata proses recruitment di setiap kantor digital agensi enggak seribet kantor atau pekerjaan lainnya kayak media, PNS, atau bidang lainnya yang mengharuskan mengikuti beberapa tahap seleksi kayak psikotes, wawancara HRD, wawancara user, tes kesehatan, FGD, dan lain-lain. Karena waktu saya mau masuk jadi karyawan di tempat yang sekarang, saya langsung diwawancara sama user-nya, dua orang (Editor and Content Strategist dan Head of SEO) sekitar bulan Oktober 2016.
Sayangnya, pas saya masuk, Editor and Content Strategist-nya udah resign dan dua minggu setelah saya masuk Head of SEO-nya juga resign. Kalau yang saya denger sih mereka resign karena pada mau bikin usaha sendiri. Cuma enggak tahu deh ini bener apa enggak. Hehehe. Kalau kata teman-teman saya yang udah lama kerja di digital agensi, rata-rata di ‘dunia’ ini turnover-nya tinggi banget. Dalam setahun bisa lebih dari 10 karyawan yang resign dan masuk. Ya tapi, hilang satu, dua, tiga, perusahaan bisa nyari lagi satu, dua, tiga, empat, lima, dan sebanyak yang mereka mau. hahaha.
Oke balik lagi ke topik. Saya enggak langsung kerja setelah melalui proses wawancara itu, saya diminta untuk menjadi freelancer dulu selama 3 bulan. Saat itu, buat saya yang memang lagi nganggur dan perlu uang, saya mau-mau saja ditawarin jadi freelancer dulu. Saya mikirnya positif aja, karena saya juga belum ada pengalaman banyak soal dunia tulis di bidang digital. Jadi emang butuh waktu untuk ngebuktiin ke mereka soal kebisa-an saya nulis. Mungkin. Hahahha. Masuk ke bulan Januari 2017, saya dapat kabar kalau saya diterima di kantor yang sekarang buat jadi SEO Content Writer. Wah denger itu saya langsung seneng pake banget.
Jujur, saya buta banget sama yang namanya dunia digital. Saya memang sebelumnya sudah suka nulis di blog pribadi dan di tempat kerja saya yang lama, kerjaan saya juga ada kaitannya sama nulis juga, cuma lebih ke nulis soal kegiatan kampus buat kepentingan website kampus. Di dunia digital, khususnya SEO saya enggak tahu apa-apa. Saya belajar dari nol (sampai saat ini masih belajar juga, karena SEO itu banyak banget tekniknya). Waktu itu saya cuma tahu, SEO itu bisa bikin sebuah situs ada di urutan nomor satu Google. Tapi saya enggak tahu aturan bikin artikel SEO itu kayak gimana.
Mungkin ada yang nanya, kan katanya Eka udah pernah jadi freelancer selama 3 bulan, masa iya belum tahu nulis artikel SEO kayak gimana? Menurut saya enaknya jadi freelancer adalah enggak banyak aturan. Waktu saya jadi freelancer, di-brief untuk nulis klien MAP, mereka cuma bilang ‘bikin artikelnya yang penting per artikel terdiri dari 500 kata, jangan copy-paste, hindari typo, sumber bisa dari mana saja, masukkan keyword sebanyak 1 persen dari 500 kata (berarti 5 keyword dalam 500 kata)’. Sudah gitu saja. Maklum namanya freelancer kan pasti tulisannya bakal diedit lagi sama editor. Hehehe.
Pas saya jadi SEO CW beneran, ternyata nulis artikel SEO enggak semudah itu. Ada aturannya kayak di judul, meta description harus dimasukkin keyword. Judul enggak boleh lebih dari 60 karakter, meta description enggak boleh lebih dari 160 karakter, gitulah pokoknya. Udah gitu, pas saya masuk jadi karyawan, editor yang harusnya ada malah resign. Jadi kerjaan saya double, nulis juga, ngedit tulisan sendiri juga. Emang sih di kantor saya ada yang namanya SEO Project Management, posisi-nya ini lebih kepada ngatur jatah berapa banyak seorang CW nulis artikel setiap bulan, ngatur jatah backlink, dan lain-lain. Semenjak editor enggak ada, si SEO Project Management membantu juga ngedit tulisan saya, tapi kan pasti enggak se-detail editor yang sesungguhnya hehehe.
Sesuai sama judul saya ‘Enak – Enggaknya Jadi Content Writer di Digital Agency’, berikut enak dan enggak-nya yang saya alami selama 11 bulan 12 hari.
Enak-nya Jadi Content Writer di Digital Agensi
1. Ada rasa bangga kalau tulisan kita diposting di website klien, apalagi kalo tulisan kita banyak yang baca dan ada di halaman satu Google. Salah satu klien yang saya pegang saat ini adalah klien yang ngebahas soal ajang olahraga yang sebentar lagi mau diadain di Jakarta dan Palembang. Klien ini sebenarnya cukup ribet karena pengin tulisan yang dibuat itu bagus banget, kayak tulisan portal-portal situs olahraga di website luar negeri dan harus detail.
Buat saya, ini tantangan sih. Karena saya harus melakukan riset lumayan lama buat bikin satu artikel. Kebetulan kliennya cukup detail soal data-data kayak cabang olahraga, prestasi atlet, dan lain-lain dan banyak maunya, enggak boleh nulis tentang ini -itu, jangan pakai kata ini-itu, dan lain-lain. Kalau kata atasan saya, artikel SEO itu enggak mesti cantik kayak artikel di majalah atau bikinan kayak tulisan advertising agency. Yang penting ada keyword, tulisannya nyambung, dan enggak banyak typo. Tapi kan susah juga ya, klien ini nuntut kita buat nulis artikel sebagus dan sedetail mungkin. Jadi bikinnya juga enggak bisa cepet-cepet. Ya kadang ngomong doang emang gampang, tapi pas dikerjain enggak semudah yang diomongin :’)
2. Jadi nambah ilmu tiap hari. Karena nulis artikel buat klien enggak bisa asal jadi, saya harus riset dulu kalo mau nulis. Otomatis saya jadi tahu kan soal topik yang saya mau tulis dan nambah wawasan juga sedikit demi sedikit.
3. Traktiran dari klien. Enaknya lagi nih¸ kadang suka dapat traktiran makan dari klien. Emang enggak tiap bulan sih. Tapi lumayan lah bisa makan enak. Terakhir saya makan di Abuba Steak di Senopati, ditraktir makan steak yang kalau saya beli sendiri, saya pasti mikir-mikir buat belinya. Cuma karena ini traktiran, otomatis bisa pesen yang mana saja. Hehehe.
Enggak Enaknya Jadi Content Writer di Digital Agensi
1. Sering pusing, sakit punggang, leher dan tangan pegal. Ya, saya sering pusing saking banyaknya artikel yang saya tulis. Sebulan bikin 80 artikel untuk 4 sampai 5 klien yang berbeda-beda, bahkan pernah 7 klien sebulan, gimana enggak pusing? Dalam sehari kadang saya bisa ngerjain 2 sampai 3 klien yang beda-beda. Satu soal HP, satu soal lifestyle, satu tentang biskuit, dan lainnya. Selain itu, jadi CW itu kan kebanyakan duduk.
Tangan dan leher jadi sering pegal. Koyo adalah benda yang selalu ada di laci kerja saya. Kalau lagi kerja, tapi tangan lagi pegal, ya saya ngetik dengan tangan ditempelin koyo. Mending kalau tangan doang yang pegal, kalau leher sama punggung juga lagi pegal yaudah saya kerja dengan tiga tempelan koyo di badan 😦
2. Klien banyak maunya. Paling kesal kalau ada klien yang banyak aturan dan banyak mau. Saat ini saya megang klien biskuit buatan luar negeri yang katanya sih enggak dijual di Indonesia. Mereka punya standar tinggi banget kalo soal pemilihan gambar buat artikel yang saya buat. Setiap saya ajukan gambar, mereka sering nolak dan bilang gambarnya kurang menarik. Saya sudah cari di Google bahkan hingga ShutterStock (situs gambar berbayar) kadang itu masih enggak di approved.
Pas ditanya, mau gambar kayak gimana, mereka cuma bilang cari gambar yang elegan, mewah, dan sesuai-in sama produknya. Bingung enggak tuh? Kan selera saya sama mereka kan beda ya. Saya kadang bisa cuma cari satu sampai dua gambar itu lebih dari satu jam, gara-gara biar sesuai sama yang klien mau.
3. Mengira seorang content writer itu tahu semua hal. Menghadapi klien emang harus sabar sih. Secara klien itu raja kan? (Begitu kata bos saya dan bos-bos lainnya hahaha). Tapi kata-kata ini saya enggak suka. Justru menurut saya malah bikin klien ngelunjak. Saya pernah menghadapi klien yang banyak enggak tahunya kalau ditanya. Wajar dong kalo saya tanya soal product knowledge-nya, masa iya perusahaan enggak ada product knowledge-nya, atau at least press release-nya gitu. Tapi mereka bilang enggak ada.
Si klien malah nyuruh saya cari di Google. Emang sih klien ini udah punya nama di Indonesia maupun Asia. Jadi mereka nganggep-nya semua informasi tentang brand mereka ada di Google. Kayaknya impossible banget kalo mereka enggak punya product knowledge tentang produk mereka sendiri, iya kan? Ini mah alasan mereka saja kali, enggak mau susah nyari di data base mereka. Malah bikin susah orang lain. (sabar kan aku ya Allah :’)). Di website resmi mereka katanya ada soal produknya. Iya memang ada, tapi cuma dikit banget. Itu juga informasinya enggak sampai 200 kata kali! Jadi mereka cuma ngasih guideline seadanya tapi minta saya bikin artikel se-cakep mungkin. Katanya referensi bisa dari mana saja. Tapi kalau saya salah nulis, saya dimarah-in dengan kata-kata yang lumayan bikin elus-elus dada.
4. Banyak orang yang menilai jadi CW itu kerjanya gampang. Saya paling sebal kalau ada yang bilang, "Jadi CW itu gampang, kan udah ada referensinya di Google, tinggal riset dikit, tulis pake kata-kata sendiri, masukin keyword, asal jangan copas jadi deh artikel SEO. Jadi enggak usah capek-capek mikir". Pikiran ini bukan cuma dari teman-teman saya yang tidak menjadi CW maupun yang tidak bekerja di agensi digital, tapi orang-orang di kantor saya pun ada beberapa yang menganggap enteng pekerjaan CW.
Saya yang dengar kata-kata itu, biasanya langsung bilang ‘mending lo rasain deh satu hari aja jadi CW kayak gimana. Rasain gimana pusingnya ngerangkai kata, yang cuma berdasarkan dari 2-3 kata keyword tapi lu harus kembangin jadi 500 kata. Yang ada lo mungkin langsung ajuin surat resign.’ Saya sampai seketus itu, karena kesel banget. Hahahha. Maap yak.
5. Sering bawa kerjaan ke rumah. Kadang weekend enggak berasa. Saya sering banget kerja weekend di rumah. Ini biasanya terjadi karena di weekedays saya ngerjain revisi dari klien, bahan buat bikin artikel susah dicari, ada meeting sama klien, atau datang ke event klien yang bisa dimasukin buat bikin artikel. Jadi otomatis, waktu saya buat ngerjain artikel berkurang. Bisa aja sih dikerjain pas weekdays selanjutnya, tapi otomatis akan mempengaruhi jadwal pekerjaan saya buat mengerjakan artikel lainnya.
Itu dia cerita pengalaman saya kerja menjadi CW digital agensi. Terlepas dari enggak enaknya jadi CW, Buat kamu yang emang passion banget di dunia tulis dan tertarik sama dunia digital, jadi CW bisa banget jadi salah satu pilihan buat ngembangin kemampuan nulis dan gajinya juga lumayan (Yang pasti di atas UMR :p). Selain itu, naik jabatannya juga lumayan cepat (kalo kerja-nya bagus). Tapi ya, emang banyak banget yang resign dan masuk jadi karyawan baru. Karena rata-rata yang kerja di digital agency itu anak-anak yang masih muda yang masih mau banyak-banyakin pengalaman dan enggak mau cepat puas (katanya sih gitu).
Jadi buat kamu yang mau mengembangkan karir di dunia digital, digital agensi bisa jadi tempat belajar yang bagus banget buat membentuk mental, networking, ilmu, dan lain-lain. Oh iya, maaf ya kalau kepanjangan ceritanya 🙂
Semoga bermanfaat!
2 comments
Aku langsung tertarik baca artikel ini. Terima kasih sharingnya, Kak Eka. Pengen deh suatu hari nanti ketemu secara langsung dan dengerin suka-duka Kk menjadi seorang copywriter. Semangat, Kak!
ReplyDeleteWaduuh kok banyak dukanya sih kak wkwkwkwk tapi aku tetep tertarik jadi content writer, gatau kenapa copywriter bukan tipeku banget:( Semoga ikhtiar belajarku bisa jadi content writer beneran kaya kak Eka! Thanks kak buat sharingnya, gbu🙌🏻
ReplyDelete