LWL Talk; Sustainable Home, Sustainable Generation


Kalo kita denger kata sustainable home, apa sih yang ada di benak lo? apakah rumah dengan atap panel surya, bangunan dari bahan yang sustainable, penuh dengan tanaman hjiau dan organik? Ya gak salah sih. Ada benarnya juga, cuma kalo patokannya itu, kayaknya bakal susah ya dimiliki sama semua orang. 

Gue sendiri termasuk orang yang sempet berpikir seperti itu. Tapi, pemahaman tersebut berubah setelah datang ke acara LWL Talk (Lyfe with Less) Talk yang diadakan di acara Bersaling-Silang hari Sabtu tanggal 1 Juni 2024.  

Di acara tersebut ada 3 Narasumber yang didatangkan yaitu Mbak Denia Isetianti founder dari Cleanomic dan pasangan Novia Arifin (@CeritaNupi) dan Yobel. Ketiganya memang concern terhadap gaya hidup ramah lingkungan. 

Yang menarik dari tema ini adalah pembahasannya lebih banyak ngomongin tentang gimana caranya menciptakan sustainable home dan bisa hidup selaras dengan alam, tapi dengan versi yang kita bisa dan berbeda-beda.

Yobel sendiri bilang jika realitanya nggak semua orang punya akses, privillage rumah yang hijau dan lahan besar. Itulah sebabnya bayangan sempurna tentang sustainable home jangan dijadikan patokan. 

Justru idenya membuat satu model yang works buat sebanyak mungkin rumah dan gak masalah kalo caranya beda-beda yang penting tujuannya sama yaitu bagaimana kita bisa menghilangkan ketergantungan dari sumber eksternal seperti makanan dan energi. 

Buat sebagian orang mau ngompos aja mikir, mau beli solar panel aja duitnya dari mana. Tapi ini harus ada model sehingga orang punya kepercayaan this is global. Tapi masalahnya orang-orang kalo lihat rumah yang terlalu perfect tuh jadi takut. 

Ceritanya bagaimana orang-orang punya visi bersama melihat model rumah-rumah yang tidak sempurna sehingga ada semangat bersama sebagai masyarakat. Karena daripada punya rumah 1 yang perfect, buat mencapai perubahan. Lebih baik punya 10 juta rumah imperfect tapi sebagian ngompos, sebagian daur ulang, dll. 


Sustainable Home ala Nupi dan Yobel

Ada beberapa hal yang biasa mereka lakukan yaitu:

1. Kalo bisa biasakan untuk membeli segala keperluan rumah tangga dengan cara refill atau isi ulang, sehingga bisa mencegah sampah kemasannya!

2. Kebiasaan membawa wadah untuk berbelanja makanan, sayur &  buah, bahkan minuman.

3. Tahu mana skala prioritas dan saat perlu membeli produk online diskusi serta memikirkan banyak hal seperti apakah harus beli baru? Kalo beli preloved ada gak? Kualitasnya dll. lumayan banyak dan discuss. 

4. Mengutamakan beli sesuatu seperti elektronik atau furniture itu cari yang secondhand atau prelovednya di Carousel. Jadi, sebelum kita langsung beli baru, tapi kita cari yang udah ada dulu yang udah diproduksi tapi nggak dipake sama orang yang sebelumnya atau nilainya udah berubah. 


Baca juga: Lyfe with Less Meet Up: Sustainable and Minimalist, Why Not?


Sustainable Generation

Topik ini juga menarik, khususnya buat gue yang belum punya anak. Pengen juga belajar parenting-nya seperti apa untuk mengenalkan nilai ramah lingkungan ke anak-anak. 

Dari Mbak Denia yang sudah punya anak 2 yang paling utama adalah lead by example dan learning by doing  dengan memulai dari yang paling kita bisa. Mbak Denia pengen anak-anaknya juga paham dan terbiasa dengan aktivitas-aktivitas ramah lingkungan seperti mengompos dan pilah sampah serta menjadikan hal tersebut normal. 

 Mbak Denia dan keluarganya memang memiliki rumah yang sangat minimalist and sustainable. Kita bisa lihat dari postingan di Instagram @minisponsiblehouse di mana Mbak Denia dan suaminya membuat rumah yang unik tapi tetap ramah lingkungan. 

Beberapa di antaranya seperti memasang panel surya, ada sistem grey water (air bekas  cucian piring digunakan lagi untuk flush toilet), edible garden landscape, recycled wood floor, dan rain water harvest. 

Itu semua kan belum bisa diterapin dibanyak keluarga di Indonesia, tapi tenang aja nggak harus punya rumah kayak Mbak Denia. Karena nggak semua orang punya privillage kayak mbak Denia. 

Semua orang punya kapasitas yang berbeda. Sama kayak solar panel ditanya mahal gak sih? jelas mahal. Tapi solar panel kalo dihitung secara matematika itu pasti akan lebih murah daripada PLN. 

Dulu saat Mbak Denia membeli solar panel diharga Rp75 juta. Tapi kalo secara hitung-hitungannya, tetep dalam jangka waktu 7 tahun akan balik modal dan selebihnya gratis atau tidak perlu membayar listrik lagi. 

Makanya kalo bisa jalan-jalan ke luar negeri seperti Eropa atau Jepang, atau bahkan beli tas branded seperti Channel kamu sebenarnya bisa beli solar panel, cuma tergantung dari prioritasnya aja. 

Gimana Sih Komunikasi dengan Pasangan untuk Membuild Sustainable Home Supaya Nanti Anaknya Bisa Lebih Sustainable?

Nupi dan Yobel sering sekali ngobrolin tentang fenomena yang ada dan nilai di baliknya. Karena kalau berkutat pada response, kita bisa gelut. Contoh Nupi pernah bikin #hiduptanpagengsi karena menurutnya gengsi menjadi satu hal yang sangat memicu kita untuk menyampah. 

Kadang keputusan konsumsi kita bukan karena kebutuhan, tapi lebih ke budaya yang mengharuskan beli di hari perayaan tertentu, terus lihat tetangga yang udah punya banyak a, b, c, tapi kita belum dan biasanya 80% keputusan kita dipicunya bukan kebutuhan kita tapi keinginan atau orang lain. Itu contoh yang sering didiskusikan. 

Enaknya kalo punya pasangan yang satu visi tentang hidup yang ramah lingkungan, jadi lebih mudah. Karena ketika punya mindset yang sama, proses setelahnya kayak mau beli ini beli itu udah nggak jadi masalah lagi. Jadi harus banyak ngobrol, harus punya prinsip dan mindset yang sama dan cari titik tengahnya.

Tapi, permasalahannya, kita hidup di masyarakat yang tidak terbiasa memahami nilai. Jadi sebaiknya yang diobrolin tuh nilai. Buat Nupi dan Yobel yang penting adalah rumah yang minim dari input eksternal. Tindakannya bisa berbeda, tapi selama nilainya sama bisa membangun gerakan yang baik dari unit terkecil yaitu rumah. 

Kalo dari Mbak Denia sendiri merasa beruntung karena memiliki pasangan yang berasal dari lulusan teknik lingkungan dan pekerjaannya di bidang persampahan +  sanitasi. Jadi, suami Mbak Denia sudah lebih advanced di dunia lingkungan, justru Mbak Denia yang belajar belakangan. 

Salah satu alasan kenapa Mbak Denia akhirnya merenovasi rumah karena suaminya bekerja menangani air. Gue baru tahu kalo sebenarnya secara aturan grey water atau air bekas cucian piring itu nggak boleh dibuang ke badan jalan, nggak boleh dibuang ke selokan. Itu secara peraturan nggak boleh. 

Mbak Denia juga menyampaikan tiap rumah seharusnya punya sumber resapan sendiri yang sesuai standart SNI. Makanya Mbak Denia ingin memiliki rumah dengan standart yang baik. Jadi, jangan sampe punya rapi dan bagus dari luar, tapi di dalamnya nggak sesuai sama standart. 

Jadi tips dari Mbak Denia adalah mungkin saat mencari pasangan, pilihlah yang sudah memiliki pemahaman tentang lingkungan, atau yang bisa diajak diskusi dan edukasi. 



Seberapa Penting dan Kapan Kita Bisa Mengenalkan Keberlanjutan ke Anak-anak?

Sekarang sudah banyak sekolah yang memberikan pendidikan terkait lingkungan dari sekolah dasar. Meskipun begitu, menarik apa yang disampaikan Mbak Denia di sisi lain bisa kita lanjutkan juga di rumah, misalnya nonton dokumenter, diajak bantuin ngompos dan milah sampah. Di mana aktivitas-aktivitas itu sudah menjadi keseharian Mbak Denia dan keluarga. 

Mbak Denia juga sering mengajak anak-anaknya ngobrol tentang kondisi bumi, seperti cuaca yang sekarang sangat panas, bahkan mengajak diskusi tentang pandangan nilai islam terhadap lingkungan. 


Budget untuk Mewujudkan Sustainable Home dan Apa yang Bisa Kita Provide Duluan Meskipun Belum Bisa Provide Rumah

Kita hidup di masyarakat yang sangat timpang. Jadi, daripada fokus ke budget di mana sangat personal, Yobel mengajak untuk melihat aset-aset non finansial yang bisa digali untuk menciptakan rumah yang berkelanjutan. Aset yang dimaksud adalah aset sosial dan aset alam yang harus dihidupkan kembali untuk mewujudkan rumah yang berkelanjutan. 

Karena berbicara soal berkelanjutan bukan cuma alam, tapi juga bagaimana alam dan sosial berhubungan. Salah satu contoh sosial adalah saat Yobel dan Nupi mau ke Jakarta untuk event Bersaling Silang Ini, misalnya mereka langganan 1 produk sayuran dan buah sehingga beli langsung ke petani agar memotong rantai distribusi. 

Petani tersebut mengirim lebih dan makanan lebih itu diberikan ke tetangga. Jadi sayur organik itu dihibahkan ke tetangga, sehingga ikut membantu mengurangi food waste, mereka juga teredukasi dari sisi lingkungan dan mendapat makanan sehat. Petani lokal juga terberdayakan. Aset sosial ini yang kita bisa gali kalo terbatas keuangan. 

Aset alam kalo dibandingkan antara teman-teman di papua dan di kota, yang di papua cenderung lebih efisien dalam mengakses makanan. Mereka hidup day to day, kalo kita week to week. 

Mereka dapat makanan 1 jam, berkualitas, baik, sehat dan secara kesehatan lebih baik. Sementara kita harus kerja dulu 1 bulan untuk digaji, lalu beli makanan di  supermarket, marketnya dari tengkulak, tengkulaknya ngambil dari pasar, sehingga panjang sekali, sangat tidak efisien. 

Jadi, sekarang Yobel dan Nupi membangun aset alam di depan kebun rumah mereka di Bandung dengan memperbaiki kualitas tanah, agar mereka bisa mengambil makanan dari sumbernya langsung.


Kalo Berkendara Gimana?

Mbak Denia sendiri hanya punya 1 mobil dan biasanya digunakan fokus untuk kegiatan anak-anak. Kalo untuk pekerjaan ke kantor menggunakan kendaraan umum. Sedangkan kalo Nupi dan Yobel karena rumah mereka di Bandung dan posisinya rumahnya di atas, akses transportasi umum tidak semudah di Jakarta. 

Tapi menurut mereka, saat ini belum ada kepentingan untuk membeli kendaraan tambahan, dan mereka baru mengandalkan 1 motor, selebihnya menggunakan transportasi umum. 

Yobel menambahkan mobil listrik itu tidak accessceble untuk semua orang, mau disubsidi pun nggak affordable dan dilema juga, karena tidak ada jaminan bahwa ini adalah solusi yang tepat. 

Jadi yang perlu ditanamkan adalah kita semua berangkat dari titik yang berbeda. Jika belum bisa beli mobil listrik maupun bahan bakar yang ramah lingkungan itu gak apa-apa. Karena beban ini bukan dikita. Beban ini ada di sistem, salah satunya tata kota. Jadi ini tuh keputusan politik.

Ada beberapa hal yang memang kita terbatas sekali ruang geraknya. Tapi ada hal-hal yang kita bangun untuk mengurangi dampak lingkungan dari pemilahan kendaraan. Salah satunya membangun akses sosial. 

Misalnya keluar untuk nganter anak sekolah, kalo membangun akses sosial, bisa saja membangun model belajar di rumah atau metode yang hemat emisi. karena gak perlu jauh-jauh. Atau akses makanan kita bisa barter atau ngambil dari kebun sendiri. Aktivitas-aktivitas tersebut mengurangi kebutuhan transport. Jadi ada berbagi strategi non pembelian yang bisa kita lakukan. Dan yang paling penting, jangan membebani diri sendiri kalo kita gak mampu. 

Prinsipnya lakukan apa yang bisa dilakukan sekarang yang lebih terjangkau, accessable, jangan tunggu nanti, modal, dan lain-lain. 

Apa Challenge dalam Menciptakan Sustainable Home!

Dari sisi Mbak Denia, tantangannya sebenarnya adalah menjaga konsistensi itu sulit. Namun, sarannya lakukan saja dari apa yang paling bisa dilakukan, sesimple edukasi diri. Karena kita selalu bilang pilah konten sama pentingnya dengan pilah sampah. Karena kalo kita gak tahu kita gak peduli kalo kita gak peduli, kita gak berubah. 

Gak perlu membandingkan diri dan berkompetisi dengan orang lain. Mbak Denia sendiri sudah menikah 10 tahun, sehingga proses pembelajaran dan proses punya rumah yang sustainable itu panjang. Kapasitas orang juga berbeda-beda. 

Kita bisa terus eksplore. Karena kalo udah sampe satu titik, terus jaga konsisten itu jangan sampe mundur. Terus improve dan belajar. Ketika sampe di titik itu either berhenti dan stay di situ dulu. Make sure kita ajeg, tapi jangan sampe mundur. Dan kalo udah, kita maju lagi. Terus itu yang dilakukan, intinya jangan sampe mundur ke belakang aja. 

Berbeda lagi dengan Nupi, tantangannya ada pada saat dia masih tinggal dengan orang tuanya yang tidak paham dengan ramah lingkungan. Namun, wanita yang juga berprofesi sebagai musisi ini memberikan kiat berupa cara mengomunikasikan secara perlahan. 

Kita bisa coba sambungkan dengan uang atau ekonomi karena biasanya lebih mudah menyampaikan pesannya ke orang tua. Misalnya, pilah sampah itu bisa jadi uang lho. 

QnA

Bagaimana cara membangun mindset terhadap sampah ke anak-anak seperti apa?

Bisa ceritakan jika sampah yang kita hasilkan jika tidak dikelola dengan baik, meskipun sudah dibuang ke tempat sampah tidak akan hilang begitu saja, tapi hanya pindah tempat dan bisa menyelakai orang lain. 

Contohnya Mbak Denia sharing tentang temannya yang mengalami jatuh tangga kepeleset duduk itu karena ada orang yang buang gelas plastik masih pakai air. Gara-gara jatuh, itu temannya itu mengalami sakit sampe 10 tahun karena ada tulangnya bergeser. 

Kemudian bisa ceritakan faktanya dulu. Misalnya  jika ada kesempatan untuk mengajak anak-anak ke fasilitas TPA, bisa dilakukan untuk memberikan gambaran seberapa banyak sampah yang terbengkalai di TPA. Atau bisa aja ke tempat pengelolaan sampah. 

Kepikiran sama TPA organisme, bakteri sama jamur, menghasilkan enzim yang bisa mengurangi sampah plastik. Kalo sampah rumah kan bisa kita kompos. Kalo anorganik bisa masukkin ke bank sampah, tapi gimana dengan plastik yang gak bisa diapa-apain, bahkan gak diambil pemulung, bisa gak sih diolah sama bakteri itu? dan bakteri-bakteri itu bisa gak sih diperbanyak sampai skala komersial. 


TPA ini isu semua negara dan kehawatiran pemerintaah terhadap TPA juga tidak tepat sasaran. Sebagian besar yang bikin TPA meledak, longsor, penuh itu bukan sampah plastik, tapi organik. Namun, banyak yang menarasikan jika plastiklah yang menjadi biang kerok, karena duitnya di situ. 

Makanya sebagai masyarakat, kita bantulah pemerintah untuk menangani sampah organik ini dengan mengompos. Karena yang plastik ini begitu kepilah diserap dengan sangat cepat walaupun dari semua jenis plastik dan material anorganik gak semua bisa didaur ulang. Mentok banget 50%. 

Tapi kalo kita mau nyelesain masalah, tanganilah sampah organik dari makanan dan dapur, karena organik jadi masalah yang paling besar. 

Dan biar plastik gak makin banyak di TPA, kita harus preventif depannya dulu yaitu dengan mencegah sampah plastik ini masuk ke TPA biar gak ke campur. Ini adalah langkah awal agar kita tidak menjadi orang-orang penyumbang sampah di TPA lagi. Kalo mager pilah sampah, harus cegah sampahnya dari awal. 

Gimana caranya agar para suami bawa zero waste swap saat nggak sama istrinya?

Dari Nupi memberikan tips agar sebaiknya para istru memberi tahu dulu alasan dasarnya, mindset, dampaknya kenapa perlu bawa peralatan-peralatan zero waste ini. Mungkin itu bisa jadi senjata kalo udah punya anak, di mana ngelakuin ini biar generasi yang akan datang bisa jadi lebih baik. Dan akan lebih personal lagi kalo diceritakan dari pengalaman orang terdekat. Karena cerita personal ini yang lebih nyangkut daripada fakta-fakta scientific. 

Kalo Mbak Denia, lebih ke siapin aja semua peralatan zero waste swapnya di tasnya misalnya bawain bekal dengan wadah reusable, tumbler.

Sedangkan untuk sampah di luar, misalnya jajan kopi, mending pendekatannya ke arah yang membahas ekonominya seperti beli kopi di luar mahal ya, bisa sampe Rp50.000. Bisa juga bawain kopinya untuk diseduh di kantor. Cari angle yang berbeda untuk menyampaikan messagenya, daripada sampaikan masalah sampahnya. Sering-sering ngajak dine in daripada takeaway. 

LWLTalk kali ini banyak banget insight yang gue dapat. Makanya sampe bela-belain nulis di blog biar kalo butuh informasinya bisa baca-baca lagi. Semoga yang baca postingan ini juga bisa dapat manfaatnya ya!

You Might Also Like

0 comments